Bidang

Bayanat (1) Hadits (1) Lughah (1) Syariah (6) Tafsir (1) Umum (4)

Sabtu, 02 Februari 2013

Resensi : Hadza Huwa el-Islam Qira’ah el-Nash el-Dini Bayna el-Ta’wil el-Ghorbi wa el-Ta’wil el-Islami

Pengarang : Muhammad ‘Imarah
Penerbit : Maktabah el-Shorouk el-Dauliyah
Kota Terbit : Kairo
Tahun Terbit : 1427 H/ Oktober 2006 M
Tebal Buku : 101 hlm.
Abdul Aziz Ma’sum
Manusia hidup di dunia mengemban amanah yang sangat mulya dari Allah, sebagaimana yang telah tertera dalam kitab suci al-Qur’an, Allah SWT berfirman; Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Namun, tidak akan mudah bagi manusia dalam menjalani kehidupan dan menjalankan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini. Maka dari itu Allah memberikan tuntunan, petunjuk kepada manusia sebagai bentuk perhatian-Nya selaku Sang khalik, ialah dengan menurunkan sebuah kitab, dengan tujuan dapat mengatur manusia kedalam suatu sistem kehidupan yang berdasar kepada segala kebaikan dan bebas dari segala kejahatan. Sebut saja Taurat kepada Nabi Musa, Zabur kepada Nabi Daud, Injil kepada Nabi Isa, dan kitab terakhir adalah al-Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW.

Seiring berjalannya waktu, kitab-kitab yang dijadikan pegangan manusia dalam mengarungi kehidupannya itu, kini dipertanyakan keaslian dan keontetikannya. Diantara faktor yang paling mempengaruhi ialah dari segi penafsiran kepada nash kitab-kitab tersebut. Tafsir yang dulunya (baca: salaf) selalu sesuai dengan kaidah-kaidah penafsiran yang ditetapkan oleh para ulama’, sekarang merasa sedikit terusik dengan kehadiran metode penafsiran cara baru: Hermeneutika, yang keberadaannya selalu dipertanyakan, diperdebatkan, dan diperselisihkan higga saat ini. apa itu hermeneutika? Pantaskah dijadikan sebagai metode penafsiran?
Apa dampak jika sebuah nash ditafsirkan dengan metode hermeneutika?. Ketika dihadapkan polemik seperti ini, timbul rasa keinginan dari seorang pemikir Islam abad 21 yang berkebangsaan Mesir untuk mengeluarkan sebuah karya yang membahas tentang ‘teks agama’ (baca: perkataan Tuhan dan penjelasan Rasul) antara ta’wil barat dan ta’wil Islami. Tapi dalam karya tersebut, fokus dan tujuan pengarang adalah untuk menolak konsep hermeneutika. Menurut Dr. Muhammad ‘Imârah hermeneutika sangat tidak relevan bila dijadikan metode tafsir ‘teks agama’. tidak hanya itu, beliau juga menamakan hermeneutika dengan istilah el-Ta’wil el-‘abatsi, ialah sebuah tafsir kacau, serampangan, dan tanpa kaidah, juga akan menumbuhkan pemahaman subyektif yang mengikuti pemahaman-pemahaman sosio-historis, sekalipun rujukan-rujukan historis tetap dipertimbangkan. Artinya tidak dibenarkan jika seseorang menafsirkan kalam Tuhan dengan metode hermeneutika, karena disamping ia (baca: hermeneutika) tidak memiliki kaidah dalam cara menafsirkan, juga akan sangat berdampak pada pengkaburan makna yang dimaksud, atau bahkan akan melenceng jauh dari tujuan nash itu sendiri.


Secara etimologi, istilah “hermeneutics” berasal dari bahasa Yunani (ta hermeneutika), (bentuk jamak dari to hermeneutikon) yang berarti hal yang berkenaan dengan pemahaman dan penerjemahan suatu pesan. Kedua kata tersebut merupakan kata derivat dari kata “Hermes” yang dalam mitologi Yunani dikatakan sebagai dewa yang diutus oleh Zeus (Tuhan) untuk menyampaikan pesan dan berita kepada manusia di bumi.

Pada dasarnya hermeneutika tidaklah ada kaitannya dengan Islam, karena metode hermeneutika lahir akibat polemik teks Bible yang dianggap banyak masalah, mengandung mitos, berisi dongengan, bahkan tidak masuk akal. Sejak saat itu hermeneutika dijadikan sebuah manhaj dalam memahami teks agama, yang kemudian dikembangkan oleh para filosof dan pemikir Kristen di Barat menjadi interpretasi teks secara umum. Oleh sebagian cendekiawan Muslim kemudian metode ini diadopsi dan dikembangkan, untuk dijadikan sebagai alternatif dari metode pemahaman al-Qur’an yang dikenal sebagai “ilmu tafsir”.

Masalah penafsiran (baca: ilmu tafsir) terhadap al-Qur’an sebenarnya bukan tanpa kaidah, aturan, subyektif, dan mengikuti pemahaman sosio-historis. Melainkan adalah suatu disiplin ilmu yang sangat tertata mapan manhajnya, serta memenuhi beberapa persyaratan dan aturan yang telah menjadi kesepakatan para ulama terdahulu (baca: salaf). Oleh karena itu, tafsir benar-benar tidak identik dengan hermeneutika Yunani, juga tidak identik dengan hermeneutika Kristen, serta juga tidak sama dengan ilmu interpretasi kitab suci dari kultur dan agama lain. Artinya Ilmu Tafsir al-Qur’an adalah penting karena ini benar-benar merupakan ilmu asas yang diatasnya dibangun keseluruhan struktur, tujuan, pengertian pandangan dan kebudayaan agama Islam.

Sebagai seorang tokoh pemikir besar Islam di abad 21, Dr. Muhammad ‘Imârah mengeluarkan sebuah karya yang patut diperhitungkan keberadaannya dan sangat penting untuk dibaca utamanya dikalangan umat Islam. Karena dalam bukunya yang berjudul Qirâ’ah el-Nash el-Dînî Bayna el-Ta’wîl el-Ghorbî wa el-Ta’wîl el-Islâmî, beliau memaparkan secara histori munculnya hermeneutika, serta membandingkan konsep atau metode ta’wil yang digunakan untuk memahami teks agama dari berbagai macam agama. Meskipun sudah banyak karangan-karangan yang membahas dan menjelaskan prihal hermeneutika, namun tak jarang yang mendukung penerapannya dalam memahami teks agama, bahkan dianggap sebagai sebuah metode interpretasi –benar- dalam memahami teks agama agar ketepatan pemahaman (subtilitas inttelegendi) dan ketepatan penjabaran (subtilitas ecsplicandi) dapat tercapai. Buku ini juga sangat menarik karena berhasil menjelaskan beberapa asumsi dan dampak penggunaan hermeneutika, juga berhasil membuktikan keotentikan al-Qur’an sebagai kalamullah dan tidak relevannya hermeneutika apabila diterapkan untuk menafsiri al-Qur’an.

Dr. Muhammad ‘Imârah sangat menentang beberapa asumsi yang beranggapan bahwa dengan hermeneutika al-Qur’an dapat dipahami lebih baik, tidak kering dan mandeg. Hal itu karena Ilmu Tafsir lebih unggul daripada hermeneutika, karena Ilmu Tafsir yang telah ditetapkan oleh Ulama Salaf lebih banyak berdasarkan analisa semantik dengan pertimbangan latar belakang sosio- historis agar memperoleh pengertian yang tepat. Dalam buku ini Beliau juga telah membantah dan mematahkan asumsi bahwa metode tafsir Ulama Salaf adalah klasik dan tidak kontemporer, melainkan sebaliknya. Hal itu karena seseorang yang hendak menafsirkan al-Qur’an harus memenuhi syarat dan ketentuan sebagai penafsir, dan tidak dibenarkan jika seorang ulama menafsirkan al-Qur’an dengan hanya berpaku pada akalnya, atau sesuai dengan pendapat pribadinya (tafsir bi-l-ra’yi), Sehingga benar-benar tidak ada ruang untuk menafsiri al-Qur’an dengan metode hermeneutika. Sebagaimana disebutkan dalan suatu hadist Nabi seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, mengatakan: ”Barangsiapa berbicara tentang al-Qur’an sesuai dengan pendapat pribadinya (bi ra’yihi), dipersilahkan untuk mengambil tempat duduknya di Neraka”.

Sangat ketatnya persyaratan dalam menafsiri al-Qur’an bukanlah suatu upaya untuk menjauhkan al-Qur’an dari orang-orang Islam biasa (baca: awam), tapi lebih merupakan suatu sikap yang adil terhadapnya, dan tentunya merupakan suatu mekanisme efektif untuk meminimalkan masuknya kesalahan dan kebingungan. Daripada membiarkan terjadinya liberalisasi penafsiran al-Qur’an yang berdasarkan kejahilan, terkaan dan interes-interes pribadi dan kelompok.

Gambaran praktek hermeneutika modern pun telah dipaparkan dengan jelas oleh pemikir besar Islam tersebut, serta pengaruhnya bagi agama Islam. Ketika hermeneutika dipraktekkan dalam Islam, Allah, wahyu, alam ghaib akan terbongkar ‘kebobrokan’ hermeneutika: yang ingin menuhankan manusia, dan memanusiakan Allah, agama, wahyu, dan ghaib, serta mengintroduksikan bahwa Tuhan telah mati. Bahkan hermeneutika modern telah mengeluarkan statemen bahwa: sekulerisme adalah asas wahyu, dan iman yang sesungguhnya adalah dengan tidak bertuhan (baca: atheis). Dr. Muhammad ‘Imârah pun mewanti-wanti bahwa hermeneutika tidak lain merupakan konsep serampangan, sembrono, yang tidak lagi perlu untuk dikomentari. Karena memang sudah jelas letak kesesatannya.
Dalam menyajikan karyanya, Dr. Muhammad ‘Imârah pertama-tama memberikan gambaran umum tentang hermeneutika, mencakup histori, perkembangannya, serta erat kaitannya dengan agama-agama samawi. Juga menyinggung ta’wil el-bathini yang mena’wilkan nash dhohir kepada hal yang bersifat samar dan tersembunyi. Kemudian tentang heretodoksi atau bid’ah yang sangat mempengaruhi dunia pendidikan Islam kontemporer. Dan nampaknya Dr. Muhammad ‘Imârah telah sukses dalam menulis dan menyajikan karyanya dengan baik. selain menarik, karena buku ini telah menjabarkan dan mengungkap sisi-sisi buruk hermeneutika, sekalipun kedok luarnya dianggap dinamisasi dan prestasi akal briliyan. Buku ini juga bisa menjadi jawaban dan bantahan dari syubhât yang dilontarkan oleh para orientalis dan musuh Islam lainnya tentang relevannya metode hermeneutika untuk menafsirkan al-Qur’an, serta anggapan mereka (baca: musuh Islam) bahwa metode tafsir para Ulama Salaf klasik dan tak lagi kontemporer. Juga dengan memiliki buku ini, seorang muslim tidak akan mudah tergoda dan akan lebih mengerti apa sebenarnya ‘hermeneutika’ di balik rencana-rencana musuh Islam dalam melemahkan dan menghancurkan agama Islam. Wallâhu a’lam bi al-shawâb.
.

1 komentar:

PPNQ Mesir mengatakan...

keren... ! ditunggu karya n kreasi u yg lebih keren lagi.

Posting Komentar