Bidang

Bayanat (1) Hadits (1) Lughah (1) Syariah (6) Tafsir (1) Umum (4)

Rabu, 09 Oktober 2013

Barokah Teman-teman Kecil

Sebuah Cerpen
Oleh: Muhammad Taufiq
“Sudah siap? Gak ada yang ketinggalan? Kita berangkat, bismillahirrahmanirrahim.”
Ucap bapakku dengan semangat berkobar. Impian lama melanjutkan study di pondok pesantren akhirnya terwujudkan juga. Sore itu ibu, bapak dan kakak iparku dengan bermotor mereka mengantarku. Begitu cepat motor kami melaju. Seolah mengejar mata hari yang hendak ditelan bumi.
Habis Ashar kami baru tiba di tujuan. Dari luar aku amati dua rumah bagus yang terpisah lorong kecil. Dengan penuh ta’dzim kami memasuki pintu besi itu. Dan baru beberapa langkah saja, telah ku lihat Andi dan Reza, kedua kakak sepupuku, muncul dari koperasi. Mereka lalu menyambut hangat kedatangan kami.
“Hehe… jadi juga mondok,” sapa Kak Andi menebar senyum. 
“Ke Ustad dulu, Pak. Baru daftar.” Ucap mereka berdua ke bapakku.
Sambil mengamati santri-santri yang memegang mushaf kecil hendak menyetor hafalan, kami duduk di balai kediaman pengasuh. Tak ada sepuluh menit beliau pun keluar dan mempersilahkan kami masuk. 
“Ini, Topan Ustad, adik sepupu Andi dan Reza,” bapak memperkenalkan.
“Ooo ya, ya.. yang kerasan di sini. Gak usah ingat-ingat yang di rumah!” beliau memberi semangat. 
Perbincangan tidak berlangsung lama. Habis minum teh dan mencicipi secuil kue kami kemudian pamit dan langsung menuju kantor pesantren yang posisinya berdempetan dengan gedung Mts. Waktu itu.   
Sejenak aku terpana. Sesaat kedua mataku memandangi sekeliling. Sungguh tak kusangka, pondok yang dari luar nampak sempit itu, ternyata memiliki halaman yang cukup luas dan indah. Kebutuhan santri yang hobi main bola dapat terpenuhi. 

Aku resmi jadi seorang santri. Kedua kakakku dengan senang hati mengantar aku ke kamar Muhammad, nama kamar kak Andi, kamarku juga nantinya. Aku menata rapi semua pakaian yang kubawa di lemari. Nasi masakan ibu, dalam hitungan beberapa detik sudah habis dilahap teman-teman baruku. 
Lima belas menit aku termangu di kamar. Tidak tahu apa yang harus ku perbuat. Dan terdengar kemudian olehku suara tilawah Mu’ammar ZA, menggema dari arah musholla. Suara itulah yang mengawali ketidak betahanku di pondok. Lantunan ayat-ayat suci itu menyeret otakku mengingat rumah dan desa tercinta. Ingat ibu-bapak yang baru saja pulang meninggalkanku. Pikiranku mulai membandingkan keadaan yang di sana dengan yang di sini. Alam desaku yang luas memberiku hidup bebas. Sementara di sini sepak terjangku dibatasi pagar-pagar yang menjulang tinggi. Dilarang keluar walau satu langkah kecuali bila mendapat izin. Oh, kenapa aku memilih pondok? Perasaan menyesal mulai memburuku.
Aku tidak kerasan. Aku ingin pulang. Ya, keinginan berhenti mondok mulai menggedor-gedor dinding batinku. Aku tidak bisa lagi bermain kemana-mana semauku. 
Sejak sore tadi sampai jam delapan malam tak seorang pun dari teman-teman kamarku yang menyapa atau mengajakku ngobrol. Itu problem kedua yang bikin aku semakin tidak betah. Aku merasa sangat asing. Kenapa tidak ada yang menyapaku? Mungkin karena malu sebab belum kenal. Tapi kenapa kedua kakakku ikut-ikutan meninggalkanku seorang diri? Apa tidak bisa sebentar saja meninggalkan kegiatannya lantas menemaniku?

***
“Nih, baca!“ kata Kak Andi malam itu. Ia memberiku kitab Muhadatsah (kitab belajar percakapan bahasa arab) Aku disuruh membacanya, “Besok langsung tes masuk diniah. Biar cepat belajar.” lanjutnya. 
Aku bingung. Ini buku tentang apa? Bisikku. Tiga tahun di SMP baru kali ini aku megang buku dari sampul sampai halaman terakhir total pakai huruf-huruf al-Quran. Bedanya, kalau yang ini ada gambar-gambar kartun tanpa warna. Aku belum faham.
Keesokan hari.
“Coba ini baca!” perintah seorang Ustad yang mengujiku. Beliau membuka kitab Muhadatsah, bab awal tentang “Siapa bapakmu? Siapa ibumu?” Kak Andi di belakangku setia menemani. 
“Bismillahirrahmanirrahiii…mmm” aku memulai dengan basmalah.
“Man Abuuuk? Abiii.. fulan. Man Ummmmuk? Ummmii…fulan.”
Sampai disitu ustad yang mengujiku itu menyudahi tes. Entah kenapa kok begitu cepat? Aku tidak faham. Hanya saja dari tadi aku perhatiin beliau senyum-senyum seolah ada yang lucu. Kak Andi yang di belakangku juga terkikih-kikih sembari menutup mulut. Aku heran, kenapa aku ditertawai? Padahal bacaanku tadi tepat, pikirku.
“Andi, kamu di tahdiri aja.” ucap Ustad itu kemudian. Nama kelas tempat aku akan belajar agama disebutnya pula. Lagi-lagi aku bingung, apa itu kelas  tahdiri? Setahuku, dimana-mana hanya ada kelas TK, satu, dua dst. Ini kelas apaan? Tanyaku dalam hatiku. Barang kali di atas kelas 6! Aku menebak-nebak.
Aku masih dengan kebingunganku tadi, kenapa mereka berdua tertawa sewaktu tes diniyahku berlangsung? Aku dan kak Andi kemudian keluar dari kantor. Tali sendal jepit sudah meliliti kaki. Dan baru mau melangkah balik ke kamar, tiba-tiba:
“Plakk” kak Andi memukul pundakku dengan sejah kecil yang dibawanya. “Itu buku percakapan. Kenapa kamu baca kayak al-Quran? Pakek lagu dan tajwid segala?” ucapnya kecewa sambil tersenyum malu. “Malu-maluin aaaahhh!” desahnya.
Sungguh, aku baru faham kalau ternyata aku salah. Dan bukan sekedar salah. Tapi fatal. Aku memang membaca percakapan bahasa arab itu dengan berlagu dan bertajwid, persis saat aku membaca al-Quran. Mad, idzhar dan idghamnya terucap fasih. Aku memaklumi. Pantesan Ustad yang mengujiku tadi cepat-cepat menyudahi tes. Jangan-jangan beliau takut kalau saja tes diteruskan bisa-bisa aku keenakan menirukan tilawah H.Mu’ammar ZA.
Aku tak bisa membantah teguran kak Andi. Tapi dalam hati aku tetap protes, kenapa gak dikasih tahu sebelumnya? Emang aku tahu apa? Aku memang lancar  baca al-Quran. Tapi bicara bahasa arab aku mana bisa? Sudah tahu aku alumni SMP. Ke ibu-bapak aku tidak manggil abi-ummi.  Aku tidak tahu apa-apa. Yang aku tahu aku disuruh baca buku yang menurutku sama seperti al-Quran kecilku dulu. Penuh dengan huruf arab.  
“Tuh kelasmu di atas!” kata Andi sambil tertawa kecil. Tangannya  menunjuk ke aula TK yang lumayan panjang. Rasa malu di mukanya belum juga sirna. “Ayo, aku antar,” ajaknya.
Dengan santai kami berjalan. Lalu menaiki anak tangga menuju aula TK, yang terletak tepat di atas kamarku, kamar Muhammad.
“Hah!” Aku terperanjat kaget, seketika kak Andi membukakan pintu. Aku mendapati aula itu dipadati balita yang masih kelas 6 MI ke bawah. Ada yang masih bersama mobil-mobilannya bermain. Ada yang perang-perangan, kejar-kejaran, menggambar teletubbies dll. Ada juga yang dari Mts. Tapi hanya satu-dua. Lagi-lagi batinku protes, sebenarnya di kelas ini aku termasuk anak baru atau sesepuh yang sudah berabad-abad tidak naik kelas? Aku disuruh belajar apa nemenin mereka main kejar-kejaran?  
“Ituu teman-temanmu. Khik khik khik..” ucap kak Andi disertai kikihan mengejek. “Salah kamu sendiri, dites muhadatsah malah ngaji,” tambahnya. Rasa-rasanya aku ingin minta dia beliin aku mainan kapal terbang.  Biar bisa beradaptasi dan cepat kerasan di pondok.  
Ternyata, kelas “tahdiri” itu adalah kata lain dari TK, artinya kelas persiapan untuk naik ke kelas satu. Diberi nama demikian, karena masih ada lagi kelas di bawahnya, yaitu kelas “sifir” dan kondisi murid-muridnya lebih parah dari tahdiri. Diantara mereka mungkin ada yang baru bisa jalan. Dan yang paling parah, kelas “i’dadi” aku tak habis pikir apa jadinya kalau ternyata aku dijebloskan ke kelas itu? “Aku semakin gak kerasaaaaaaan!” hatiku menjerit. 
         
***
Tiap malam, ku lihat di depan kamarku ada santri-santri yang merangkak. Itu hukuman bagi santri yang melanggar; tidak masuk diniah, masbuk shalat, keluar tanpa izin dll. Sebagai santri baru aku sangat takut akan hukuman itu. Aku pun berusaha mengikuti seluruh kegiatan yang ada. Walau sesampai di kamar aku tetap menangis dan menyesali masuk pesantren. 
Kedua kakakku tidak memberi tahuku kalau santri baru yang belum kerasan itu mendapat sedikit keringanan. Tidak terlalu dituntut untuk merangkak jika tidak berjamaah. Sehingga terjadi tragedi berikutnya yang bikin aku makin-makin tidak betah.
Siang itu, setelah menunggu antrian, tiba saatnya giliranku masuk kamar mandi. Menurutku, aku mandi tidak terlalu lama. Masalah mandi aku memang pakai jurus kilat, asal basah dan bau sabun membekas. Tapi, begitu keluar, aku tersentak kaget. Kamar mandi sudah sepi. Di musholla ternyata santri-santri sudah pada takbiratul ihram. Entah kapan adzan dan iqomah? Aku tidak mendengar. Aku terlambat total.
Aku belum memakai apa-apa. Hanya handuk yang meliliti tubuh. Cepat-cepat aku terbang ke kamar. Aku lempar gayungku. Aku sentak kemejaku yang tergantung di paku belakang lemari. Lalu lekas berlari ke musholla seraya memasukkan tangan ke lengan kemeja putih itu. Dan baru aku bertakbiratul ihram, imam langsung ruku’. Aku pun ikutan ruku’. 
Bangkit dari ruku’ dari kaca musholla ku lihat ustad ‘ubudiyah yang berdiri di belakangku tersenyum riang manahan tawa. Dengan kedua mata mengamatiku seorang yang berada di barisan paling belakang, pojok utara. Aku memaklumi beliau. Karena aku shalat dengan mamakai baju yang terbalik. Seluruh kancing tak sempat dimasukkan ke lubangnya. Perutku buncit bak wanita lagi hamil. Dikarenakan gulungan sarung yang terlalu besar. Aku tak sempat memperbaikinya dari sehabis mandi tadi. Hinga ujung bawahnya meninggi jauh dari atas tumit. Aku mendapati diriku tidak niat shalat. Hanya takut merangkak. Saat berdiri shalat kedua tanganku memegang erat sarung yang hampir melorot.
Setelah salam, aku seorang yang bangkit beranjak ke kamar. Aku ingin memperbaiki kondisi pakainku yang super kacau. Yang lain ikut wiridan. Sebelum beberapa langkah sampai ke kamar, aku sempatkan menoleh ke ustad ubudiyah itu. Beliau masih tersenyum, memandangiku tanpa henti. Hatiku menjerit lagi, Ustaaaaad, Aku ini santri baru. Aku tidak betah di sini. Aku mau berhentiiiiiii! 

***
Tekad untuk berhenti mondok sudah membulat. Tak terkendali. Aku tidak peduli dengan ocehan kedua kakakku yang mengancam kalau aku berhenti mondok mereka tidak akan lagi menganggapku sebagai adik. Terserah! kata hatiku, tegas. Pokoknya aku harus keluar dari pondok.
Otakku mulai memikirkan cara bisa berhenti. Dari sekian banyak cara, ada yang paling sopan dan halus menurut logikaku, yaitu berpura-pura sakit. Sebab dengan sakit aku bisa pulang. Kalau sudah pulang aku tidak akan mau lagi balik ke sini.
Di hari ke delapan aku mulai berakting sakit. Seharian aku tidak ikut kegiatan. Tidak masuk diniyah. Tidak shalat berjamaah dst. Aku rela  menggeleparkan diri di kamar. Dari ujung kaki ke ujung rambut aku tutup rapat dengan selimut dan sarung. Aku berharap teman-teman sekamarku percaya bahwa aku lagi sakit. Lantas diadukan ke kedua kakakku. Lalu mau tidak mau aku akan dipulangkan. Pikirku. 
Celakanya, logikaku meleset. Masuk hari ke dua aku tergelatak, tak satupun teman yang memperdulikan aku. Lebih-lebih kakakku sendiri, kak Andi. Dia hanya nawarin aku makan dan nyuruh shalat. Aku merasa diriku seperti mayat yang ketabrak mobil di negara orang. Tak ada yang mau mendekat. Apalagi menyapa “Topan, kamu sakit? Pulang aja yuk! Ayo aku antar,” padahal sapaan-sapaan seperti itulah yang aku tunggu.
Parahnya, sore itu, usai wiridan shalat Ashar teman-teman kamarku aysik ngobrol dan bernostalgia di sampingku. Aku masih mendekap dalam selimut. Mereka yang aku harap-harap pertolongannya dari sejak awal berakting jadi koban banjir, yang aku dapat malah sebaliknya. Mereka menyinggungku. Mereka bercerita tentang masa lalu mereka sewaktu tidak kerasan di pondok, persis seperti yang aku derita. 
“Dulu, awal-awal aku mondok aku juga pernah pura-pura sakit,” kata salah satu dari mereka. Aku yang tidak tidur, mendengar jelas suaranya dari balik selimut.
“Aku juga,” yang lain nyeletuk, “Malah aku naruh bawang putih di ketiak, hingga badanku terasa sangat panas. Tapi celaka. Aku ketahuan juga naruh bawang itu. Jadinya gak bisa pulang hahaha…” serentak mereka ngakak.
Masalah berpura-pura sakit, ternyata mereka lebih berpengalaman. Mendengar obrolan dan tawa mereka itu aku jadi geram dan marah. Secara tidak langsung mereka telah mengolokku. Rasa-rasanya aku mau bantai mereka. Kakiku mendadak kesemutan  ingin menendang leher mereka satu persatu. Tapi mustahil. Hanya suara hati yang menjerit, “Keparaaaat. Keluar kalian semua dari siniiiiii!”                    
Cara licik gagal. Otakku sudah angkat tangan. tak mau diajak kompromi lagi. Aku kehabisan akal. Aku pun mempersiapkan diri untuk menyatakan langsung ke bapak kalau aku mau berhenti mondok dan akan lanjut ke SMA. Karena masih lama beliau akan ke pondok, aku pun titip salam ke pamanku, bapak dari kak Andi, untuk menyampaikan keinginaku itu.
Entah. Kenapa setelah paman dan bibikku lenyap dari pandangan hendak pulang, tiba-tiba aku merasa kasihan terhadap Ibu-bapak. Aku teringat jerih payah mereka, berusaha keras demi menghidupiku. Hatiku yang kemarin menggebu-gebu untuk menyatakan berhenti seketika itu juga berubah menjadi rasa khawatir. Aku khawatir pamanku betul-betul akan menyampaikan salamku. Segera aku mendatangi kak Reza yang suka pulang-pergi ke rumah, “Kak, bilang ke ibu-bapak, aku sudah kerasan di pondok,” ujarku to the poin.
Anehnya, sore itu juga, senja hampir hilang, ada teman sekelasku dari tahdiri mencolek pinggangku. Padahal baru kenal wajah. Aku menatapnya tajam, ia malah tertawa lalu berlari ke lantai atas. Aku tertarik untuk mengejarnya. Di tengah aku mengejarnya aku ikut tertawa. Entah, aku sudah gila atau tidak? tertawa tanpa sebab. Yang jelas, kami mendadak akrab, seolah sahabat lama. Anak itulah teman pertama yang membuatku kerasan.
Sejak itu aku mulai, “Hiyaa, hiyaaa”, ikutan main kejar-kejaran. Dan “Ting, ting, ting.. jep aaaaa,” perang-perangan. Yang dari kelas sifir nyamperin ”Hap, hap, hap” memerangiku dengan tangan kosong. Yang dari I’dadi tidak mau ketinggalan, “Darr, darr kamu mati,” ia menembakku dan menyuruhku mati. 
“Gak bisa, aku belum mati,”  aku tidak terima.
“Nggak nggak. Kamu kena. Kamu harus mati,” katanya memanja.
“Gak bisa. Aku juga nembak kamu,” aku tidak mau mengalah.
“Ah, kamu kena duluan,”
“Iya, tapi pelurumu nyangkut di hidung, hahaha” tambahku mengkelakari. 
“Nggaaaaaaak, aaaaaaaaa” ia mau menangis, ”Kamu harus matiii.”
“Hahaha, oke, oke,” aku memeluknya cepat, “Aku mati, aaa.”
Berteman dengan anak kecil mendatangkan berkah. Karena mereka aku jadi kerasa. Aku merasa aku sangat membutuhkan teman-teman seperti mereka. Memang kecil, tapi tawa, senyum dan manja mereka bagaikan embun pagi yang menyejukkan. Mampu merubah hati yang dulunya kecil menjadi besar. Melapangkan dada yang semula sempit. Membuka pikiran yang tertutup. Memberi pelangi bagi kehidupan. Wajah cemberutku jadi bisa tersenyum dan tertawa lepas.    
“Sekian”

0 komentar:

Posting Komentar